Minggu, 01 Februari 2015

HAJI DALAM PERSPEKTIF TASAWUF/MAKRIFAT JAWA

HAJI

Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran
Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah spiritual.Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik,bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”.Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau.Oleh karenanya,bagi mereka,Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis,yakni terletak di Dataran Arab Saudi.Bagi Muslim-Jawa,Makkah berada di dalam spirit manusia
yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah.Hal ini
dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil :

Samana ngling Molana Maghribi

Singgih pakanira awangsal

Nora ing Mekah rekeh

Ing Mekah kulon iku

Mekah tiron wastanireki

Watu ingkang kinarya

Pangadhepan iku

Nabi Ibrahim akarya

Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir

Lan tuwan awangsul

Nora ana weruh ing Mekah iki

Alit mila teka ing awayah

Mang tekaa parane

Yen ana sangunipun

Tekeng Mekah tur dadi wali

Sangunipun alarang

Dahat dening ewuh

Dudu srepi dudu dinar

Sangunipun kang sura lagaweng pati

Sabar lila ing donya

Artinya :

Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali,yang engkau cari tidak ada di Makkah.Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu,Makkah tiruan namanya.Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim.Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan,akan menjadi kafir,Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua.Tak akan mencapai tujuan.Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali,maka bekalnya sangat mahal,sukar diperoleh.Bukan rupiah
maupun dinar bekal tersebut.Tapi keberanian,kesanggupan mati,dan
sabar serta ikhlas di dunia.

Dari penuturan suluk wujil tersebut,jelas bahwa haji adalah olah
spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak,yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran,serta sabar dan ikhlas dalam hidup di
dunia.Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini.Hidup ikhlas adalah hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut kuasa,harta,kelezatan hidup di dunia.Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji.Untuk dapat ikhlas perlu laku atau olah spiritual.Untuk mampu memperoleh laku yang benar,juga diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar.Sebagiannya
adalah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih
dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar.Hati terbebas dari segala iri,dengki,dendam,kesumat,kikir dan tamak.Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia.Rohani dimerdekakan,dan
keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas.Dan untuk itu
semua dibutuhkan kesabaran,memiliki daya juang,dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan.Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar,dan kemauan mempertahankan
keyakinan atas kebenaran itu.Di balik kesabaran itu,juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini.Tidak egois,tidak mau menang sendiri,tidak
menyerobot hak orang lain,tidak mempermainkan kekuasaan,tidak
melanggar hak-hak orang lain,ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain,ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol.Sehingga termasuk Ka’bah misalnya,yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia.Ka’bah yang
sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual.

Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati.Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah,justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah,malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir.Yakni akan kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri.Untuk menciptakan kesejahteraan,ketentraman,dan untuk mampu mendekati Tuhan,ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan
yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain.Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing.Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka
lita’aruf (saling mengenal).Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup
mencapai ketakwaan.................



(Olah Kepribadian Agoeng Deworuci,di 1/3 Malem Jum'at Legi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar