Minggu, 01 Februari 2015

SHALAT DALAM PERSPEKTIF TASAWUF/MAKRIFAT JAWA

SHALAT

“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha.Berdirilah untuk Allah (dalam
shalat) yang khusyuk” (QS Al.Baqarah/ 2:238).Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat,baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”,kondisi batin yang mantap.Secara lahir,shalat dilakukan dengan berdiri,membaca Al-Fatihah,sujud,duduk dsb.Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan.Inilah shalat jasmani dan fisikal.Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat,maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati(segala shalat)yang berarti jamak.Dan ini menjadi bagian pertama,yakni bagian lahiriah.Bagian kedua adalah tentang shalat wustha,yaitu yang secara sufistik
adalah shalat hati.Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah.Karena hati terletak di tengah,yakni di tengah “diri”, maka
dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati.Tujuan shalat ini adalah
untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati.Hati terletak di tengah-tengah,antara kiri dan kanan,antara depan dan belakang,atas
dan bawah,serta antara baik dan jahat.Hati menjadi titik tengah,poin pertimbangan.Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah,dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki.Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah,yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah,Yang Kasih Sayang,dan Yang Lemah Lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya
hati,kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan.Bila hati lalai dan tidak khusyuk,maka jasmaniahnya akan berantakan.Sehingga kalau ini terjadi,kedamaian yang didambakan akan hancur pula.Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk.Kalau hati tidak khusyuk,serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat,maka hal itu tidak bisa disebut shalat.Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan,dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidak akan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa.Doa atau munajat,bukan sekedar permintaan hamba kepada
Allah,akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan.Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati.Maka jika hati tertutup di dalam
shalat,tidak peduli akan makna shalat rohani,shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun.Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan.

“Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging,apabila daging itu baik,baiklah seluruh tubuh itu.Dan apabila ia rusak,rusak pulalah semua tubuh itu.Daging itu adalah hati“ (Sabda Rasulullah)

Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati.Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit.Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal,baik tempat,waktu,kesucian badan,pakaian,dsb...maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu.Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat.Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati.Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah.Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat.Dan kiblatnya adalah Allah.Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas,hati yang tidak tidur,dan hati yang tidak mati.Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga.Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat,dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah,tempat penyucian tertinggi.Di tempat itu,ia ada tanpa dirinya.Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap.Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten.Jadi,tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna,lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat.Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini,lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali.Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu.Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan
dan bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi.Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh laku menuju Allah.Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut.Tidak ada lagi gerakan berdiri,ruku’,sujud,dsb...Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah,dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)

Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil,yakni mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya.Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut.Namun mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya.Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir,yang bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”.Takbir merupakan pengucapan yang lahir
dari firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya.Jadi,takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya.Bukan hasil dari dorongan emosional.Karenanya,takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri.Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah.Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata.Dengan takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil,dan menjadi tidak ada.Yang ada hanya Allah.Kemanapun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis,sempurnalah ibadah seseorang.Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah.Hatinya ber”padu” mesra
dengan Allah.Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan
‘alim.Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai
pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah.Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah.Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar.Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya,hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada
kebanyakan manusia dewasa ini,maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya.Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar...

Sadat salat pasa tan apti

Seje jakat kaji mring Mekah

Iku wes palson kabeh

Nora kena ginugu

Sadayeku durjaning bumi

Ngapusi liyan titah

Sinung swarga besuk

Wong bodho anu auliya

Tur nyatane pada bae durung uning

Artinya:

Syahadat,sholat,puasa semua tanpa makna

Termasuk zakat dan haji ke Mekah

Itu semua telah menjadi palsu

Tidak bisa dijadikan anutan

Hanya menghasilkan kerusakan di bumi

Membohongi makhluk lain

Hanya ingin surga kelak

Orang bodoh mengikuti para wali

Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening

Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa
wali sanga karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan
makna dan tujuan,kehilangan arti,dan hikmah kehidupan.Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat
fungsional,berbeda dengan para wali pada masanya.Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at,dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa,dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan.Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar,disiplin,ikhlas,dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala,maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat.Itulah bagian dari shalat da’im.Namun ternyata,ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi
milik Syekh Siti Jenar.Di dalam Suluk Wujil bait 12-13,sebuah naskah
yang ditulis pada awal abad ke-17,yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang,menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:

Utamaning sarira puniki

Angrawuhana jatining salat

Sembah lawan pamujine

Jatining salat iku

Dudu ngisa tuwin magerib

Sembahyang araneka

Wenange punika

Lamun aranana salat

Pun minangka kekembanging salat daim

Ingaran tata krama

Endi ingaran sembah sejati

Aja nembah yen tan katingalan

Temahe kasor kulane

Yen sira nora weruh

Kang sinembah ing donya iki

Kadi anulup kaga

Punglune den sawur

Manuke mangsa kenaa

Awekasa amangeran adan sarpin

Sembahe siya-siya.

Artinya:

Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat,sembah dan pujian

Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan Maghrib.

Itu namanya sembahyang

Apabila itu disebut shalat,maka hanyalah hiasan dari shalat daim.

Hanyalah tata krama
Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu?
Janganlah menyembah jikalau tidak
mengetahui siapa yang disembah.

Akibatnya dikalahkan oleh martabat
hidupmu
Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah,maka engkau seperti menyumpit burung

Pelurunya hanya disebarkan,tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan

Akibatnya cuma menyembah ketiadaan,suatu sesembahan yang sia-sia.

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan
berdasarkan ukuran formalitas,hanya sebentuk tata krama,aturan keberagamaan.Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang
sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan
Hyang Maha Agung di dalam dirinya,dan dia merasakan dirinya sirna.Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat.Diam,bicara,dan
semua gerak tubuhnya merupakan shalat.Wudhu,membuang air besar,makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang.Inilah hakikat
dari niat sejati dan pujian yang tiada putus.Ya...shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an.Mampu menghadirkan RAHMATAN LIL 'ALAMIN.........

(Olah Kepribadian Agoeng Deworuci,malem senin pahing 01/02/2015)

1 komentar: